A.
Arti Modal Bagi Koperasi
Pengaruh modal dan penggunaannya
dalam koperasi tidak boleh mengaburkan dan mengurangi makna koperasi, yang
lebih menekankan kepentingan kemanusiaan daripada kepentingan kebendaan.
Rincian modal yang diperlukan koperasi sebagai berikut :
a.
Modal Tetap (Modal Jangka Panjang), diperlukan untuk
menyediakan fasilitas fisik koperasi, seperti untuk pembelian tanah, gedung,
mesin, dan kendaraan.
b.
Modal Kerja (Modal Jangka Pendek), diperlukan untuk
membiayai kegiatan operasional koperasi seperti gaji, pembelian bahan baku,
pembayaran pajak dan premi asuransi, dan sebagainya. Jika koperasi itu adalah
koperasi simpan pinjam, maka modal ini diperlukan untuk pemberian pinjaman
kepada para anggota (circulating capital).
Adam Smith, salah seorang pelopor aliran
klasik yang menulis buku berjudul “The
Wealth of Nations” (1976), mengartikan modal sebagai bagian dari nilai
kekayaan yang dapat mendatangkan penghasilan. Dalam perkembangannya, pengertian
modal mengarah kepada sifat non fisik, dalam arti ditekankan kepada nilai, daya
beli atau kekuasaan memakai atau menggunakan yang terkandung dalam barang
modal.
Prinsip yang harus dipatuhioleh koperasi dalam kaitannya
dengan permodalan, sebagai berikut:
a.
Pengendalian dan pengelolaan koperasi harus tetap berada
ditangan anggota dan tidak perlu dikaitkan dengan jumlah modal yang dapat
ditanam oleh seseorang anggota dalam koperasi dan berlaku ketentuan satu
anggota satu suara.
b.
Modal harus dimanfaatkan untuk usaha – usaha yang bermanfaat
dan meningkatkan kesejahteraan bagi anggota.
c.
Kepada modal hanya diberikan balas jasa yang terbatas.
d.
Koperasi pada dasarnya memerlukan modal yang cukup untuk
membiayai usahanya secara efisien.
e.
Usaha – usaha dari koperasi harus dapat membantu
pembentukkan modal baru.
f.
Kepada saham koperasi (di Indonesia ekuivalen dengan
simpanan pokok) tidak bisa diberikan suatu premi di atas nilai nominalnya,
meski seandainya nilai bukunya bisa saja bertambah.
B.
Sumber Permodalan Koperasi
Menurut UU No.25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian pasal 41 dinyatakan bahwa modal koperasi terdiri dari modal
sendiri dan modal pinjaman.
1).
Modal Sendiri (Modal Ekuiti), merupakan modal yang menanggung resiko. Modal ini
terdiri dari :
a. Simpanan Pokok
Simpanan
Pokok adalah sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib dibayarkan oleh
anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tiak
dapat diambil selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
Mengenai cara
penyerahan/penyetoran simpanan pokok dari anggota kepada koperasi dapat diatur
di dalam setiap AD/ART koperasi, apakah dilakukan sekaligus atau dengan cara
diangsur.
b. Simpanan Wajib
Simpanan
wajib adalah sejumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama yang wajib
dibayar oleh anggota kepada koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu.
Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih
menjadi anggota.
c. Dana Cadangan
Dana
cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha,
yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian
koperasi bila diperlukan.
d. Hibah
Hibah
adalah suatu pemberian atau hadiah dari seseorang semasa hidupnya. Hibah dapat
berbentuk wasiat, jika pemberian tersebut diucapkan/ditulis oleh seserang
sebagai wasiat atau pesan atau kehendak terakhir sebelum meninggal dunia dan
baru berlaku setelah dia meninggal dunia.
Modal
koperasi yang merupakan (hibah) ini adalah pemberian harta kekayaan dari
seseorang yang berupa kebendaan, baik benda bergerak atau benda tetap.
Untuk
pemindahan hak milik harta kekayaan yang berupa benda bergerak dari pemberi
hibah dapat dilakukan seketika, karena penyerahan hak milik atas benda bergerak
dilakukan langsung dari tangan ke tangan (hand to hand).
Untuk
penyerahan benda tetap dilakukan melalui penyerahan yuridis, yaitu suatu
penyerahan yang harus memenuhi syarat – syarat hukum tertentu untuk sahnya
suatu pemindahan hak milik atas benda tetap.
2).
Modal Pinjaman
Untuk pengembangan usahanya,
koperasi dapat menggunakan modal pinjaman dengan memperhatikan kelayakan dan
kelangsunga usahanya.
Modal pinjaman dapat berasal dari :
a. Anggota
Suatu
pinjaman yang diperoleh dari anggota, termasuk calon anggota yang memenuhi
syarat.
b. Koperasi Lain atau Anggotanya
Pinjaman
dari koperasi lain dan atau anggotanya didasari dengan perjanjian kerja sama
antar koperasi.
c. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.
Pinjaman dari bank dan lembaga keuangan
lainnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang
berlaku. Jika tidak terdapat ketentuan khusus, koperasi sebagai debitur dari
bank atau lembaga keuangan lainnya diperlakukan sama dengan debitur lain, baik
mengenal persyaratan pemberian dan pengembalian kredit maupun prosedur kredit.
d. Penerbitan Obligasi dan Surat Hutang
Lainnya.
Dalam
rangka mencari tambahan modal, koperasi dapat mengeluarkan obligasi (surat
pernyataan hutang) yang dapat dijual ke masyarakat. Sebagai konsekuensinya,
maka koperasi diharuskan membayar bunga atas pinjaman yang diterima (nilai dari
obligasi yang dijual) secara tetap, baik besar maupun waktunya. Penerbitan
obligasi dan surat hutang lainnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang –
undangan yang berlaku.
e. Sumber Lain yang Sah.
Sumber lain yang sah adalah pinjaman dari bukan anggota yang
dilakukan tidak melalui penawaran secara hukum. Contoh : pemberian saham kepada
koperasi oleh perusahaan bebadan hukum PT, sebagai wujud himbauan Presiden
Suharto beberapa waktu yang lalu di peternakan tapos Bogor. Pemberian ini
prakteknya bukan hibah karena koperasi menerima saham tersebut tetapi harus
membayar nilai saham yang diterima. Hanya saja pembayaran nilai saham yang
diterima tidak secara tunai, tetapi dibayar dari deviden yang seharusnya
diterima koperasi tersebut. Hal ini terjadi sampai nilai saham yang diterima
koperasi tersebut terpenuhi.
Sumber permodalan dari anggota tampaknya sulit diharapkan
oleh koperasi – koperasi primer karena keterbatasan kemampuan para anggotanya.
Demikian juga kemungkinan bahwa koperasi sekunder dari jenis koperasi yang
bersangkutan bisa menjadi sumber permodalan bagi koperasi primer, meskipun
dalam jumlah yang terbatas sebagaimana dalam kenyataan kehidupan koperasi
dewasa ini.
Dalam
kaitan ini dapat dipahami mengapa IKPRI (dulu IKPN) dan beberapa induk koperasi
lainnya mendirikan bank. Dengan memiliki bank sendiri, diharapkan bahwa
induk-induk tersebut bisa membantu para anggotanya, dengan menyediakan dana
yang diperlukan oleh anggota, baik yang digunakan untuk menngembangkan usahanya
maupun untuk membantu menunjang kebutuhan hidup para anggota secara individu.
Contoh : Bank Kesejahteraan Ekonomi yang didirikan oleh IKPRI pada tahun 1992
dalam kebijaksanaan kreditnya menetapkan bahwa 70% dari dana kredit yang
tersedia diberikan kepada koperasi, terutama jajaran koperasi pegawai negeri
tingkat primer.
Kemungkinan
menghimpun modal koperasi melalui penerbitan obligasi, tampaknya masih sulit
untuk dipenuhi oleh koperasi.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya:
1.
Emiten harus mempunyai modal telah disetor penih minimal Rp.
200 juta,
2.
Dalam dua tahun buku terakhir secara berturut-turut
memperoleh laba,
3.
Laporan keuangan telah diperiksa oleh akuntan publik/negara
untuk dua tahun terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan wajar tanpa
syarat untuk tahun terakhir,
4.
Memiliki rekomendasi dari Bank Indonesia mengenai jumlah
obligasi yang dapat diterbitkan, jika perusahaan tersebut berupa bank.
Selain
persyaratan tersebut, dalam proses obligasi perlu dilibatkan beberapa unsur
berikut ini :
a. Pemodal, yaitu perorangan
dan/lembaga yang akan menanamkan modalnya.
b. Penerbitan prospectus yang memuat
keterangan lengkap dan jujur mengenai keadaan perusahaan dan bagaimana
prospeknya.
c. Penjamin emisi efek (underwriter)
yaitu lembaga perantara emisi yang menjamin penjualan efek (obligasi).
d. Wali amanat (trustee) yaitu lembaga
yang ditunjuk emiten yang diberi kepercayaan untuk mewakili kepentingan para
pemegang obligasi.
e. Penanggung (garantor), lembaga yang
menanggung pelunasan kembali pinjaman pokok obligasi dan pembayaran bunga bila
emiten cidera janji.
Dalam sejarah perkoperasian di Indonesia,
baru satu buah koperasi yang pernah mengeluarkan obligasi yaitu bukopin yang
dilakukan tahun 1989 yang bernilai Rp. 30 M , dimana IKPN (sekarang IKPRI)
termasuk salah satu pembelinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas
, maka tampaknya sulit bagi koperasi untuk memupuk permodalannya dengan cara
penjualan obligasi, tetapi tidak menutup kemungkinan dikembangkan untutk jangka
panjang
Selain modal sendiri dan modal
pinjaman, koperasi dapat pula melakukan pemupukan modal yang berasal dari modal
penyertaan. Baik yang bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat
dilaksanakan dalam rangka memperkuat kegiatan usaha koperasi terutama yang
berbentuk investasi. Pemilik modal penyertaan ikut menanggung resiko . pemilik
modal penyertaan tidak mempunyai hak
suara dalam rapat anggota dan dalam menentukan kebijaksanaan koperasi secara
keseluruhan. Namun demikian, pemilik modal penyertaan dapat diikutsertakan
dalam penyertaannya sesuai dengan perjanjian.
Dalam hubungan ini, modal ventura
merupakan cara yang terbaik bagi pemupukan modal koperasi. Modal ventura adalah
merupakan salah satu bentuk dari penyertaan modal dimana setelah selang waktu
yang ditentukan, modal harus ditarik kembali oleh pemilik modal penyertaan.
Pembatasan waktu yang diberikan kepada modal ventura untuk Indonesia adalah 10
tahun.
Penyertaan modal dalam suatu
perusahaan atau koperasi pada dasarnya merupakan suatu investasi untuk mana
kepada pemiliknya harus diberikan bukti keikutsertaannya dalam bentuk saham.
Dalam memperhatikan pasal 42 beserta
penjelasannya kiranya bentuk non voting
preferred stock (saham preferen yang tidak diberikan hak suara) bagi modal
vetura adalah yang paling tepat. Ini berarti bahwa pemilik modal ventura
sebagai anggota yang tidak mempunyai hak suara, sehingga tidak bisa ikut
menentukan kebijaksanaan koperasi. Di sudut yang lain, pada pemegang saham
preferen tersebut diberikan keistimewaan, berupa hak menerima deviden terlebih
dahulu dan jika koperasi dibubarkan, pemiliik saham preferen berhak didahulukan
untuk menerima kembali nilai sahamnya.
Umumnya saham preferen bersifat
kumulatif, dalam arti jika pada satu tahun tertentu karena sesuatu hal
(perusahaan atau koperasi menderita kerugian misalnya) deviden tidak dapat
dibayarkan, maka deviden tersebut akan terakumulasi dan pembayarannya dilakukan
pada kesempatan berikutnya serta harus didahulukan dari pada saham biasa
(common stock).
Meskipun UU No.25 Tahun 1992 telah
memberikan keleluasan mengembangkan modal kepada koperasi, namun pelaksanaannya
perlu diwaspadai agar pengelolaan dan pengawasannya tetap berada di tangan para
anggota koperasi sesuai dengan demokrasi kooperatif. Pemberian keleluasaan
tanpa batas kepada modal penyertaan bisa membahayakan eksistensi koperasi itu
sendiri. Tetapi di lain pihak, memberi batasan-batasan terlalu ketat bagi
masuknya modal penyertaan akantidak menarik bagi pemilik modal. Oleh karena itu
perlu dicarikan pola kerja sama antara koperasi dengan pemilik modal penyertaan
yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pemilik modal ingin agar uang
ingin agar uang yang ditanam dalam koperasi sebagai modal penyertaan itu aman,
dalam arti tidak akan hilang dan untuk itu wajar kalau pemilik modal ingin
mengawasinya.
Dalam memperhatikan pasal 42 beserta
penjelasannya dan keinginan para pemilik modal penyertaan, yang menginginkan
keamanan dari modal yang ditanamkannya di satu pihak dan azas demokrasi
kooperatif di lain pihak, maka sebaiknya modal penyertaan tersebut digunakan
untuk membiayai proyek-proyek koperasi, sehingga penyertaan pemilik modal
ventura dalam pengelolaan dan pengawasan kegiatan-kegiatan koperasi dibatasi
pada proyek saja, tidak menyangkut kebijaksanaan koperasi secara keseluruhan.
Dengan demikian, pemberian non voting preferred stock kepada modal ventura
tersebut tidak menyimpang dari azas-azas koperasi
Sumber permodalan yang lain bagi
koperasi adalah dana penyisihan 1-5 % dari laba BUMN/BUMD. Per 1 November 1989
Menteri keuangan telah mengeluarkan SK No. 1232/KMKM613/989 tentang “Pedoman
pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi melalui BUMN” , dimana
dianataranya diputuskan bahwa pembiayaan yang diperlukan untuk melaksanakan
pembinaan tersebut disediakan dari bagian laba BUMN yang besarnya 1-5 % dapat
berupa peningkatan kemampuan modal kerja, anatara lain pengadaan bahan baku dan
modal usaha.
Prof. DR.
Sumitro Djojohadikusumo,
ketua umum IKPN-RI (IKPRI) dalam rapat anggota IKPN-RI tahun kerja 1990
menyampaikan pendapatnya bahwa SK Menkeu di atas yang menetapkan bahwa
penggunaan atau pemanfaatan bagian laba yang disisihkan tersebut diatur
masing-masing BUMN/BUMD yang bersangkutan, akan menyebabkan tersebar dan
terpecahnya dana yang telah disisihkan sehingga penggunaannya akan terarah.
Akan lebih baik, bila hasil penyisihan dana investasi koperasi (cooperative
Investment Fund) dalam satu lembaga tersendiri yang mandiri dan tidak terkait
dengan satu departemen atau badan usaha lain. Namun demikian, lembaga tersebut
tetap tunduk pada pengaturan umum badan moneter yang berwenang untuk
mengawasinya. Agar dana investasi untuk koperasi benar-benar berpijak dalam
landasan dan jiwa koperasi, maka lembaga tersebut harus berada dibawah
pengawasan dewan penyantun dan dewan
pengawas yang terwakili oleh induk-induk koperasi baik sipil maupun angkatan
bersenjata. Di dalam lembaga ini pun harus ada perbedaan yang tegas antara
fungsi pengawasan dan fungsi pengendalian operasional.
Selanjutnya, penggunaan dana itu
harus diarahkan untuk empat hal, yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk pelatihan dan pendidikan koperasi primer, bila mungkin
dalam jangka panjang dalam bentuk pinjaman lunak.
2.
Untuk investasi hal-hal yang bermanfaat bagi penguatan dalam
modal koperasi primer.
3.
Sebagai dana jaminan (guarantee fund).
4.
Untuk pembelian saham perusahaan swasta.
Pada
Tanggal 27 Juni 1994 dikeluarkan SK Menkeu No. 316/KHK/616/1994 tentang pedoman
pembinaan Usaha kecil dan koperasi melalui pemanfaatan Dana dari bagian Laba
BUMN, dimana dalam SK tersebut (pasal 4)
dikatakan bahwa bantuan BUMN tersebut dapat berupa:
1.
Pendidikan, pelatihan, penelitian dan pemagangan untuk
meningkatkan kemampuan kewirausahaan, manajemen serta keterampilan teknis
produksi,
2.
Pinjaman modal kerja dan investasi dengan tingkat bunga yang
disesuaikan dengan kemampuan mitra binaan untuk meningkatkan produksi dan
penjualan/omzet yang ditetapkan oleh Direksi BUMN,
3.
Pemasaran dan promosi hasil produksi,
4.
Pemberian jaminan dalam rangka memperoleh kredit perbankan
dan atau transaksi dengan pihak ketiga,
5.
Penyertaan pada perusahaan modal ventura didaerah tingkat I
yang membantu permodalan dan pinjaman kepada usaha kecil dan koperasi.
Agar pengolahan dana benar-benar
efektif dan efisien serta menyalurkannya kepada koperasi dan pengusaha kecil,
maka dikeluarkanlah keputusan bersama tanggal 14 oktober 1994 antara Direktur
Jenderal Pembinaan BUMN (Departemen Keuangan) dan Direktur Jenderal Pembinaan
Pengusaha Kecil (Departemen Koperasi dan PPK), yang isinya antara lain memuat
ketentuan-ketentuan tentang dibentuknya sistem koordinasi.
Saran Prof. DR. Sumitro Djojohadikusumo tentang pembentukan Cooperative fund di ulang kembali dengan rapat
anggota IKPRI (nama baru IKPN) yang diadakan pada tanggal 16 dan 17
desember 1996 dan di muat dalam
surat-surat kabar ibu kota. Selanjutnya beliau mengatakan: “sesungguhnya kita ketinggalan sekitar 17 tahun di bandingkan dengan
Malaysia yang telah memiliki syarikat permodalan nasional untuk memperkuat
kedudukan golongan bumi putera dalam kegiatan perekonomian”.
C.
Distribusi Cadangan Koperasi
Menurut pasal 41 UU No.25/1992 ,dana cadangan adalah sejumlah uang yang
diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha yang dimasukkan untuk memupuk modal
sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
Fungsi dari cadangan adalah untuk menjaga kemungkinan –
kemungkinan rugi dan untuk memperkuat kedudukan financial dari koperasi
terhadap pihak luar (kreditur) dan karenanya dapat diibaratkan sebagai shockabsorbers dari kegiatan usaha
koperasi. Pengurus / manajer harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya
kerugian – kerugian, sebagai akibat dari turunnya harga, pergeseran konsumen,
persaingan – persaingan karena munculnya barang – barang subtitusi baru dan
sebagainya.
Beberapa bagian dari SHU (SisaHasil Usaha) akan disisihkan
untuk cadangan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Koperasi. Pembagian SHU
yang berdasarkan pada perbedaan perolehannya:
·UU No.12/1967 menentukan 25% dari SHU yang diperoleh dari
usaha anggota disisihkan untuk Cadangan, dan 60 % SHU yang berasal bukan dari
usaha anggota, disisihkan untuk Cadangan.
UU No.25/1992 yang merupakan
Anggaran Dasar yang baru, menentukan 30% dari SHU disisihkan untuk Cadangan.
Menurut Undang – Undang ini pembagian SHU tidak membedakan SHU yang diusahakan
oleh anggota dan yang diusahakan oleh bukan anggota.
Menurut UU No.12/1967
tersebut para anggota koperasi tidak mendapat bagian / alokasi dari sisa hasil usaha yang
diperoleh dari penyelenggara untuk bukan anggota seperti yang dapat dibaca dari
pasal 34 ayat 3 yang mengadakan sebagai berikut :
SHU yang berasal dari usaha yang
diselenggarakan untuk anggota dibagi untuk;
a. Cadangan Koperasi.
b. Anggota, sebanding dengan jasa yang
diberikannya.
c. Dana Penggurus.
d. Dana Pengawas.
e. Dana Pendidikan Koperasi.
f. Dana Sosial.
g. Dana Pembangunan Daerah Kerja.
Selanjutnya ayat 4 pasal 34
mengatakan SHU yang berasal dari usaha yang diselenggarakan untuk bukan anggota
dibagi untuk :
a. Cadangan Koperasi
b. Dana Pengurus
c. Dana Pegawai/ Karyawan
d. Dana PendidikanKoperasi
e. Dana Sosial
f. Dana Pembangunan Daerah Kerja
Sesuai dengan bunyi pasal 34 UU No.12/1967 tersebut maka
Koperasi-koperasi dalam Anggaran Dasarnya juga mengadakan perbedaan dalam
pembagian SHU yang diperoleh dari hasil usaha yang diselenggarakan oleh anggota
dan yang diperoleh dari usaha yang diselenggarakan untuk bukan anggota
tersebut. Dalam Pasal 28 Ayat 2 mengatakan sebagai berikut :
SHU terdiri dari :
1).
Yang diperoleh dari usaha yang diselenggarakan untuk anggota
Koperasi Pegawai Negeri
2).
Yang diperoleh dari usaha yang diselenggarakan untuk bukan
anggota yang dimaksud dalam ayat (2) a pasal ini
Selannjutnya Pasal 29 mengatakan :
1.
SHU tersebut pasal 28 ayat (2a) dibagi sebagai berikut :
a. 25% untuk cadangan.
b. 30% untuk anggota yang memberikan
penghasilan berdasarkan jasa masing-masing.
c. 20% untuk anggota menurut
perbandingan simpanan.
d. 5% untuk dana Pengurus.
e. 5% untuk dana Kesejahteraan Karyawan.
f. 5% untuk dana Pendidikan Koperasi.
g. 5% untuk dana Pembangunan Daerah
Kerja.
h. 5% untuk dana Sosial.
2.
SHU tersebut Pasal 28 ayat (2b), dibagi sebagai berikut :
a. 60% untuk Cadangan
b. 5% untuk Dana Pengurus
c. 5% untuk Dana Kesejahteraan Karyawan
d. 20% untuk Dana Pendidikan Koperasi
e. 5% untuk Dana Pembangunan Daerah
Kerja
f. 5% untuk Dana Sosial
Ketidak-baikan dari sistem pembedaan SHU berdasarkan sumber
perolehannya, adalah bahwa anggota bisa merasa dirugikan, karena tidak semua
SHU yang diperoleh koperasi tersebut dapat dinikmati anggota, sedangkan dalam
hal terjadi kerugian, simpanan pokok mereka ikut menanggung kerugian.
Dilihat dari fungsinya, jenis – jenis cadangan antara lain :
a. Valuation Reserve,
Yang
termasuk dalam valuation reserve adalah cadangan untuk penyusutan (epreciation)
,keusangan (obsolescence), dan pinjaman yang macet (bed debts). Depreciation
dan obsolescence bagi suatu usaha merupakan suatu pengeluaran – pengeluaran
tersembunyi.
b. Capital Reserve
Dana modal
cadangan (Capital Reserve Funds) dipupuk dengan cara:
1) Menahan net margin dari usaha, baik
atas dasar yang dialokasikan (allocated)
maupun yang tidak dialokasikan (unallocated).
2) Melalui penahanan modal.
Dana cadangan ini diperlukan untuk :
1.
Memenuhi kewajiban tertentu seperti membayar suatu hipotik
(mortgage).
2.
Meningkatkan jumlah operating capital koperasi atau
memperbaiki ratio antar Current Assets dan Current Liability.
3.
Sebagai jaminan untuk kemungkinan – kemungkinan rugi di
kemudian hari.
4.
Untuk perluasan usaha.
Dilihat dari cara pembentukannya,
jenis – jenis cadangan antara lain :
a. Cadangan Kolektif (collective
reserve)
Cadangan
kolektif merupakan cadangan yang tidak ditulis atas nama anggota, jadi murni
dipotong sekian persen dari SHU untuk cadangan.
Cara ini
pernah dianut oleh Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 35 Undang –
Undang No.12/1967 tentang Pokok – Pokok Perkoperasian yang mengatakan bahwa :
“Pada
pembubaran koperasi, sisa kekayaan koperasi setelah dipergunakan untuk menutup
kerugian – kerugian koperasi dan biaya – biaya penyelesaian, diberikan kepada
perkumpulan koperasi atau kepada Badan lain yang azas dan tujuannya sesuai
dengan koperasi.”
b. Cadangan Individual (individual
reserve)
Cadangan
individual merupakan cadangan yang dapat dibagi – bagikan kepada anggota, jika
koperasi kelak dibubarkan. Cadangan individual ini, dikumpulkan dan ditulis
atas nama anggota. Menurut Dr. Fauquet cara ini adalah tidak sesuai dengan
prinsip – prinsip koperasi. Cara ini akan membawa konsekuensi – konsekuensi
yang kurang baik, yaitu kepada anggota – anggota manakah cadangan tersebut akan
dibagi – bagikan. Selain itu, akibat yang kurang baik dengan cara membagi –
bagikan cadangan kepada anggota adalah bahwa bilamana cadangan koperasi itu
sudah terkumpul terlalu banyak, akan mendorong anggota – anggota untuk
membubarkan koperasi, sehingga mereka dapat menikmati cadangan tersebut. Sistem
cadangan individual ini tidak dikenal di Indonesia.
Sumber :
Firdaus, Muhammad dan Agus Edhi
Susanto. 2002. Perkoperasian (Sejarah,
Teori & Praktek). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar